Panggil saya Y, jabatan staf panitia yang diberi kekuasaan mengatur tender pembangunan fisik di sebuah PTN ternama di Indonesia Timur. Sebelum saya ditunjuk menangani pekerjaan administasi tender fisik, saya bertugas sebagai staf rumah tangga bersama bapak saya S yang anggota pengendali. Bagian rumah tangga adalah tempat yang lumayan untuk mencari rejeki dengan mudah.
Saya kebagian mendapat jatah konsultan pekerjaan penunjukan langsung untuk fisik. Tidak sulit, cuma suruh mahasiswa arsitek menjiplak gambar arsip 100%, satu dua lembar gambar bisa jadi uang 3-4 juta. Saya memilih nilai fisik di bawah 50 juta, agar kontraktornya bisa dikerjakan bapak saya. Harga satuan dan volume bisa saya stel agar keuntungannya lebih dari lumayan.
Sebenarnya saya tidak tertarik mengerjakan administrasi proyek. Pekerjaannya repot dan uangnya sedikit. Kontraktor biasanya cuma memberi uang lelah 250-500 ribu per kontrak. Tetapi kalau ini saja hasilnya, tentu A teman saya tidak mungkin bisa beli mobil baru dan masuk café tiap malam.
Setelah mempelajari situasi, kesimpulan saya dosen-dosen yang jadi jadi panitia cuma tahu tanda tangan. Mereka tidak mau pusing dengan urusan administrasi. Yang mereka kejar umumnya honor bulanan rutin. Bos saya dosen-dosen teknik mengatur pekerjaan besar untuk dikerjakan sendiri atau oleh jaringannya. Selain itu mereka punya jatah lumayan besar saat negosiasi dengan kontraktor. Peluang saya bermain hanya pada prosedur administrasi.
Tahun lalu ketua panitia pak haji yang berkuasa selama 20 tahun dipecat. Sekretarisnya teman saya A tetap bertahan. A mendapat durian runtuh, karena ketuanya yang baru nampak bodoh-bodoh. Entah alasan apa tahun ini A juga akhirnya dipecat. Yang jelas jabatan A sudah lama diincar pegawai seperti saya dan alhamdulilah saya yang dapat rejeki mengganti dia. Saat menjadi sekretaris panitia, A menentukan pungutan resmi 2,5% dari nilai kontrak, lebih kecil dari tariff panitia saat ini dalam memainkan calon pemenang. Pungutan itu sering dinikmati sendiri dan tidak dibagi ke anggota. Dari L saya dengar pak haji saat berkuasa menganggap haknya 10%.
Kita pegawai kecil universitas yang terlibat di proyek walau selalu jadi sasaran tembak kemarahan sangat kompak dan punya jaringan rekanan yang benderanya siap dipinjam setiap saat, dari perusahaan kecil hingga yang paling besar. Saat pengumuman tender, mereka kita minta untuk ikut mendaftar ramai-ramai. Hampir semua pekerjaan yang penunjukan langsung, kita kerjakan. Masing-masing mendapat jatah lebih dari lumayan, mulai dari konsultan hingga kontraktor. Bos-bos yang pegang jabatan diberi jatah lumayan, jadi mereka selalu siap pasang badan jadi bumper kita. Mereka senang, karena tugasnya cukup tanda tangan ok.
Agar semua berjalan terkordinasi, tugas saya di bagian administrasi dan L di bagian control fisik. L juga bertindak sebagai agen informasi dari user yang tidak tahu prosedur. Di sini L yang mengatur semua mulai menunjuk konsultan, kontraktor hingga volume dan anggaran proyek. Bosnya juga tinggal tanda tangan. A walau sudah dipecat tetap kita libatkan untuk pengamanan eksternal mengkordinir teman-teman rekanan. Selama 20 tahun, cara ini terbukti berjalan baik, semua yang terlibat diam-diam senang.
Rektor bisa ganti setiap hari, tapi kita tetap yang mengatur tender. Mengapa? Karena selain kita, hampir tidak ada pejabat yang menguasai soal fisik universitas yang sangat besar, bahkan lokasi pembangunan belum tentu pernah mereka lihat, apalagi punya dokumennya. Hanya L yang tahu mana pekerjaan yang fiktif, dibiayai berkali-kali setiap tahun tanpa terdeteksi oleh pejabat berwenang. L juga bekerja dibagian pengusulan anggaran didukung teman-teman rekanan. Empat tahun lalu ada proyek yang di mark up lebih 200%, tetap aman-aman saja. Kalau usernya tidak mau diatur, anggarannya tidak dimasukkan L dalam list.
Peristiwa yang membahagiakan bila menjelang pelaksanaan proyek. Rekanan baik dosen maupun penguasa antri menemui saya untuk dapat bagian. Saya tentu harus memperlihatkan sikap jual mahal. Bila mereka menghubungi saya lewat hp, kadang-kadang saya sengaja jual mahal tidak menanggapi. Dosen-dosen yang mengaku terpelajar itu umumnya mau enak. Dapat kerjaan dijual ke mahasiswa atau mantan murid bahkan dengan bayaran ucapan terima kasih. Merekalah yang kita mainkan. Satu dua dosen yang dianggap teman termasuk mantan bos A yaitu pak haji tetap kita kasih bagian, tapi sebagian besar kita kerjakan sendiri.
Yang paling enak lagi kalau ada tuntutan mahasiswa atau dosen agar tender bebas alias fight. Inilah peluang makan ikan besar. Saya dan A sudah mengatur dan meminta beberapa kontraktor untuk banting harga. Harus lebih dari satu untuk jaga-jaga dan menawar serendah mungkin untuk saya jadikan calon pemenang I. Yang harganya agak tinggi, saya jadikan calon pemenang II. Biasanya kontraktor yang merasa harus menang menghubungi saya, apa kekurangannya hingga kalah. Saya memberi kode ke kontraktor teman saya, bisa langsung atau dikordinir A untuk negosiasi dengan calon pemenang II. Calon pemenang I kemudian dibatalkan, dengan alasan dokumen administrasi tidak lengkap, maka yang menang calon pemenang II. Selisih uangnya dibagi dua. Dari sini, kita bisa patok rejeki 5-10% dari kontrak. Anggota panitia termasuk PU pura-pura tidak tahu permainan ini, tinggal ikut apa yang saya tentukan karena saya memegang kartu As mereka.
Kalau ada yang menjengkelkan kerja di bagian ini, adalah kewajiban mengurus administrasi rekanan yang uang capeknya cuma ratusan ribu. Terpaksa dikerjakan walau bikin cape. Kecuali kalau mereka juga mau setor yang lumayan, administrasinya dipercepat. Kalau lagi tidak mood, kontraknya bisa tidak kita proses sampai mereka mau menyetor yang lumayan.
Saya tahu banyak orang universitas yang sinis dengan panitia lelang, tapi mereka bisa apa. Mereka berebut cari muka untuk ditunjuk jadi panitia, bikin gossip kiri kanan. Tapi walau berapa kali panitia diganti dengan dosen, ceritanya tetap sama. Yang penting ada bagiannya, mereka pasti senang tinggal ikut apa yang kita atur.-
24/11/07
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar